Rokok "Tingwe" yang Makin Langka
LELAKI berumur 40-an tahun itu berjalan mendatangi warung. Mengenakan baju batik dan kopiah lusuh, ia kemudian mencampur tembakau, kelembak, dan kemenyan yang dipotong kecil- kecil dalam kertas sigaret. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah membentuk campuran itu dalam gulungan kertas rapi menjadi sebatang rokok.
Rokok dinyalakan, lalu ia mengisapnya dua kali hingga asap mengepul. Bau kemenyan menyebar di warung itu. Pria tersebut hendak membeli tembakau. Namun, untuk meyakinkan bahwa tembakau itu cocok baginya, ia terlebih dulu mencoba membuat campuran yang disediakan gratis oleh pemilik warung.
"Lare sak niki mboten purun ndamel tingwe. Mbok menawi mboten praktis, nggih," kata pria itu sambil memilih-milih tumpukan tembakau di warung itu. Pria ini mengungkapkan kebiasaan membuat tingwe (rokok yang dibikin dengan menggulung sendiri) sudah tidak lagi digemari anak muda sekarang.
Ungkapan pria tersebut menggambarkan kebiasaan membuat tingwe memang makin langka. Setidaknya warung penjual perlengkapan rokok tradisional yang terletak di Pasar Kota Wonosobo itu tidak lagi seramai ketika tahun 1980-an. Dulu ada puluhan penjual di los pasar khusus tembakau di lantai dua pasar itu. Kini tinggal kurang dari sepuluh penjual berbagai perlengkapan untuk membikin rokok tingwe tersebut.
Sri, salah seorang penjual perlengkapan rokok itu, mengungkapkan, dulu ada saat yang ramai, yaitu saat hari pasaran hingga penduduk desa berbondong-bondong ke pasar. Mereka yang tinggal di lereng gunung turun ke
"Sekarang tidak ada lagi hari pasaran itu. Penjualan juga tidak tentu. Orang juga banyak memilih rokok buatan pabrik," kata Sri. Meskipun demikian, Sri tetap saja berjualan komoditas serupa karena tetap ada pembelinya.
Sejarah panjang rokok tingwe sepertinya hendak berakhir. Kisah awal rokok tingwe itu setidaknya terdapat dalam sebuah publikasi mengenai sejarah Kota Kudus, Jawa Tengah. Pada abad ke-17 ketika kalangan bangsawan kerajaan di Pulau Jawa biasa mengisap rokok dengan pipa, rakyat jelata mulai membuat rokok tingwe. Tembakau sendiri bukan tanaman asli Jawa. Tanaman ini baru masuk ke Pulau Jawa sekitar awal abad ke-17.
Menurut catatan Solichin Salam dalam bukunya, Kudus dan Sejarah Rokok Kretek (1983), yang diterbitkan Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), untuk merokok, orang mencampur tembakau dengan berbagai rempah, seperti cengkeh, damar, atau akar-akar wangi. Demam merokok makin mewabah ketika beredar kabar, kebiasaan itu ternyata bisa menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas.
Adalah Haji Djamari, penduduk Kudus yang menderita sakit di bagian dadanya. Untuk mengobati sakit yang dideritanya, dia coba menggosok bagian dada dan pinggangnya dengan minyak cengkeh. Rasa sakitnya berkurang. Pak Haji- demikian panggilan Haji Djamari-lalu memperluas percobaannya. Ia pun mengiris cengkeh sampai halus, mencampurkannya dengan tembakau, kemudian membungkusnya dengan daun jagung. Dengan cara mengisap asapnya, ternyata sakit di dadanya berangsur-angsur sembuh.
Naluri bisnis Haji Djamari pun terpantik. Ia mulai memproduksi "rokok obat" itu secara rumah tangga, dan laku. Produksinya saat itu dikenal dengan sebutan "rokok cengkeh". Lambat laun, sebutan itu berganti menjadi "rokok keretek". Asal mula sebutan itu, konon, karena rokok ini setelah dinyalakan mengeluarkan bunyi kemeretek. Haji Djamari wafat pada tahun 1890. Diperkirakan, kiprahnya memproduksi rokok keretek itu antara tahun 1870 dan 1880. Sejak saat itulah rokok keretek menjadi dagangan yang laris di Kudus meski anak cucu Haji Djamari tak ada yang tumbuh sebagai industrialis rokok.
Meski saat itu muncul rokok keretek bikinan pabrik, rokok tingwe tidak musnah. Alasan "lebih mantap" apabila membikin sendiri, selain alasan lebih murah, menjadikan rokok tingwe masih bertahan.
Di dataran tinggi Dieng masih bisa dijumpai tembakau yang biasa digunakan untuk tingwe. Berbeda dengan tembakau yang digunakan untuk rokok keretek bikinan pabrik yang hanya dijemur dengan menggunakan panas Matahari, tembakau untuk tingwe, setelah diiris halus, digantang di atas api pembakaran kayu.
Makin lama tembakau digantang menjadikan kualitas tembakau tersebut makin baik. Tembakau yang digantang dan dipres itu berukuran sekitar 15 x 30 sentimeter dengan ketebalan sekitar tiga sentimeter.
Harga tembakau dengan ukuran itu bervariasi. Untuk tembakau yang masuk dalam kategori berkualitas rendah, yaitu digantang hanya beberapa hari dan disimpan kurang dari setahun, hanya sekitar Rp 30.000. Sedangkan untuk tembakau yang digantang lebih dari seminggu dan sudah disimpan hingga
Di daerah yang berhawa dingin, seperti Wonosobo, dulu masih banyak ditemui penduduk yang pada saat nongkrong bersama teman-temannya asyik membuat lintingan rokok. Akan tetapi, kini, anak-anak muda di desa pun lebih memilih rokok keretek bikinan pabrik.
Alasan kepraktisan menggunakan rokok bikinan pabrik mungkin menjadikan tingwe banyak ditinggalkan. Untuk membuat tingwe setidaknya butuh wadah untuk menampung berbagai bahan campuran itu. Tingwe bisa dibuat dari campuran tembakau, kelembak, dan menyan atau tembakau, kelembak, dan cengkeh. Pilihan ini bergantung selera.
Pembungkusnya bisa menggunakan kertas sigaret yang ujungnya terasa manis atau daun jagung (klobot) dan daun enau kering. Dua jenis daun yang terakhir ini sudah jarang ditemukan di pasar.
(Lihat Sejarah Rokok/Tembakau/Kretek/Sigaret/Klembak)
1 komentar:
Saya juga penikmat rokok lintingan :)
Bagi yang ingin membeli tembakau saya bisa suplai. tembakau madura, besuki super, paiton, kalituri, srintil, kasturi dll
kunjungi blog saya Tembakau Madura atau sms / phone: 085 736 167 850
Posting Komentar