Pada pendahuluan bab ke-4 dalam buku tersebut (karangan Leonard Blusse, terbitan Yogyakarta thn 2004), yang berjudul “Wasiat Kepada Seorang Tauke: Jan Con, Batavia, dan Perdagangan Belanda ke Cina” dikatakan bahwa di dalam kalangan kaum sejarawan, orang-orang Cina perantauan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) tidak pernah terlalu dikenal. Dalam banyak hal, mereka adalah “orang-orang tanpa sejarah”. Mereka tidak meninggalkan berita-berita penting tentang pengalaman mereka, dan tidak berhasil melahirkan suatu mazhab sejarawan untuk menuliskan sejarah-sejarah mereka dari sudut pandang mereka sendiri. Di samping latar belakang etnis dan kultural, apa yang membedakan hua-chiao (sebutan untuk orang-orang Cina perantauan Asia Tenggara ini) dari orang-orang pribumi Asia Tenggara adalah peranannya sebagai perantara, yang oleh para imigran ini tetap dilakukannya selama beberapa abad terakhir di dalam berbagai daerah kawasan, koloni, atau negara.
Menjalankan peranan sebagai pedagang perantara dan makelar –karenanya tentu saja mereka lihai dalam urusan hubungan perseorangan-, secara tradisional mereka selalu menyembunyikan tujuan dan alasan mereka sendiri dari “dunia luar”. Dan oleh karenanya pula mereka terluput dari pemahaman oleh jaman mereka sendiri.
Maka, jangan heran apabila mendengar bahwa kaum sejarawan pribumi Asia Tenggara lalu cenderung memberikan ciri pada kaum hua-chiao -atas dasar peranannya sebagai perantara itu-, sebagai tukang catut atau centeng modal asing dan penguasa politik. Sebaliknya, demi alasan ideologis, kaum sejarawan dari daratan Cina biasanya melukiskan kaumnya itu sebagai korban penculikan untuk kuli kontrak oleh kaum kapitalis jahat dalam abad lalu, atau sebagai manusia-manusia pendurhaka yang ingkar terhadap nenek moyang serta ibu negeri sendiri. Dengan kata lain, di Cina sendiri terdapat faktor-faktor dorong tarik di balik emigrasi perantauan itu yang dikaburkan oleh retorika politik yang dipakai. Ini bukan gejala yang baru, melainkan bisa ditarik sampai pada awal abad ini, jika malah tidak jauh sebelum itu. Kemungkinan kebenarannya ialah, bahwa kapan pun Cina memalingkan perhatiannya kepada kaum Cina perantauan yang umumnya hidup makmur itu, hanyalah karena menginginkan sesuatu dari anak-anak hilang mereka tersebut. Terkurung di dalam situasi sejarah demikian, orang-orang Cina perantauan itu lalu ditanggapi secara salah, dan digambarkan dalam stereotipe dengan menampilkannya sebagai golongan yang materialistis, yang berkomplot untuk merengguk keuntungan, serta menunjukkan kesediaan mereka bekerjasama dengan modal asing.
Tidak hanya itu, juga disebutkan di dalam buku ini, bahwa kaum hua-chiao seringkali ‘dipergunakan’ baik secara halus maupun kasar oleh orang-orang Belanda, demi kepentingan ekonomi VOC. Namun, semakin besar peranan orang-orang Cina ini dalam perekonomian Hindia-Belanda, semakin buruk pula “label” yang ditempelkan pada kaum ini.
Tentu saja tidak terlalu mudah untuk menggantikan stereotipe yang telah berurat akar mendalam demikian, dengan bentuk penyamarataan lain yang lebih masuk akal dan cermat. Jalan terbaik untuk sampai ke sudut pandangan demikian adalah dengan memusatkan pengamatan kita pada kondisi-kondisi kehidupan hua-chiao di Asia Tenggara yang umumnya tidak menentu itu; dan, dengan berdasar kepada studi-studi kasus, menganalisis bagaimana mereka saling mempengaruhi dengan lingkungannya dalam berbagai kurun jaman.
Kegiatan dalam blog ini –yaitu analisa kemasan tempo dulu- adalah salah satu cara studi kasus, untuk menganalisa bagaimana bangsa Cina perantauan tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan lokal. Dengan demikian, diharapkan stereotipe negatif yang telah mengakar urat tersebut dapat dihilangkan sepenuhnya secara berangsur-angsur, dan kita dapat lebih menghargai dan mencintai perbedaan yang ada dan budaya baru yang lahir dari perbedaan-perbedaan tersebut.
2 komentar:
halo, boleh tanya, buku2 kuno seperti ini pinjam di mana ya?
Atau bisa dibeli?
Saya butuh utk riset.
terima kasih
saya suka blogger.. bagus!!
Posting Komentar